Senin, 29 April 2019

KONVERGENSI MEDIA


Nama : Muhamad Arif Firdaus T
NIM : 1371511807 
UNIVERSITAS BUDI LUHUR


PENULIS : DUDI ISKANDAR
PENERBIT : ANDI

KONVERGENSI MEDIA

Perbaruan Ideologi, Politik dan Etika Jurnalisme


1. PENDAHULUAN

Media Massa mengalami beberapa tahap perubahan, transformasi, dan bahkan bermetamorfosis. Roger Fidlet menyebut fase berbagai perkembangan media dengan nama mediamorfosis. Dalam pandangan Fidlet, mediamorfosis memiliki tiga konsep, yaitu : Koevolusi, konvergensi, dan kompleksitas. Ia mendefinisikan mediamorfosis sebagai transformasi media komunikasi yang biasannya ditimbulkan akibat hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan persaingan politik, serta berbagai inovasi social dan teknologi.

Perkembangan teknologi komunikasi ( massa ) bermula dari mesin cetak yang menghasilkan surat kabar dan buku. Teknik fotografi yang menghasilkan film. Teknologi gelombang elektromagnetik yang melahirkan radio dan televisi. Terakhir, teknologi berbasis internet yang kemudian memopulerkan istilah baru ( new media ).



1.1 KONVERGENSI MEDIA DI BELAHAN DUNIA

Image result for konvergensi media

Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi seperti disebutkan di pendahuluan, penelitian tentang konvergensi media-pun menjadi tren di kalangan akademik. Para peminat kajian komunikasi massa ( media massa ), khususnya, berlomba membedah konvergensi dari berbagai aspek. Lumrah bila puluhan buku, ratusan bahkan ribuan jurnal telah dihasilkan dari berbagai sudut konvergensi media.

1.2 KONVERGENSI MEDIA DI INDONESIA

Surat Kabar Digital sebagai Konvergensi Media  di Era Digital ini sangatlah di minati  di kalangan masyarakat Indonesia, beberapa perusahaan telah lama berkecimpung di dalam konteks  Konvergensi Media. Seperti Kompas Grup, MNC Grup, Media  Grup


2. MEDIA SEBAGAI IDEOLOG DAN AKTOR POLITIK

Image result for politic

Dalam teori wacana Michel Foucalt, ada beberapa istilah kunci. Selain wacana, ada juga istilah episteme, kuasa, pengetahuan, arkeologi dan genealogi. Istilah-istilah tersebut kreap berkelindihan, saling silang, dan berebut muncuk ke permukaan.

Wacana merupakan kumpulan pernyataan yang dihasilkan dari relasi kekuasaan dan pengetahuan melalui mekanisme yang bersifat plural, produkti dan menyebar serta dikonstruksi dengan cara stimulasi. 

Epistimologi yang berkenaan dengan praktik wacana dan aturan main yang berada dibaliknnya adalah yang dikenal dengan arkeologi pengetahuan.

Dalam konteks inilah kekuasaan media membuat lima wacana yang diangkat dalam penelitian ini menemukan signifikasinya. Wacana-wacana itu adalah Kecurangan Kampanye Pilpres, Dugaan Pelanggaran HAM Prabowo, Debat Capres-Cawapres, Konser salam 2 Jari, dan Keberpihakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Seperti kata foucault wacana bersifat ideologi karena menyimpan sesuatu yang tersembunyi. Artinya, selain mengonstruksi wacana, melalui berita juga menyimpan agenda ideologi media seperti yang disebutkan juga oleh John B. Thomson, bahwa ideologi memiliki tiga perangkatm yakni sistem keyakinan yang menandai kelas tertentu, suatu sistem keyakinan ilusioner, dan proses umum produski makna dan gagasan.


3. POST-JOURNALISM

Image result for post journalism


Perkembangan jurnalisme kontemporer sangat mengerikan karena jurnalisme berubah terus. Jurnalisme ditantang oleh teknologi komunikasi yang lebih baru yang menyebabkan jurnalisme harus menyesuaikan dirinya. Kebenaran harus disampaikan; laporan komitmen terhadap faktar. Inilah yang belum berubah.

Model keberagaman dalam kerja jurnalistik saat ini bisa dipotret sebagai cikal bakal fenomenan post-journalism. Istilah ini berangkat dan berakar dari post-truth. Fakta dan peristiwa dibungkus oleh media dengan sangat ciamiknya sehingga menjadikan lebih indah dari yang sebenarnya. Ia tampak lebih faktual dari fakta yang sebenarnya.


Dalam post-journalism, jurnalisme terjebak dalam kontestasi dengan media sosial, khususnya proeses penyebaran informasi. Padahal ranah kedua bidang itu berbeda, demikian kecepatan adalah wilayah media sosial bukan wiliayah jurnalisme. 

Kini Indonesia berada di post-journalism. Pertarungan sarkatis, vulgar, dan tuna etika di bidang media bukan tidak mungkin terjadi pada Pilpres 2019, bahkan lebih dahsyat lagi. Sesungguhnya Pilpres 2019 adalah babak kedua dari Pilipres 2014.